Dr. Ali Masykur Musa, M.Si, M.Hum (Cak Ali)

Edisi 3 Agustus 2015 Profil Tokoh
photo

Memompa Kekuatan Ekonomi Syariah di Tanah Air

Haji, Umrah, Zakat, Infaq, dan Shodaqah merupakan kegiatan ibadah umat Muslim yang memiliki potensi ekonomi sangat besar. Di Indonesia, dari aktivitas ibadah tersebut nilainya mencapai 100-an triliun rupiah. Jumlah sebesar itu seharusnya mampu menggerakan roda ekonomi berbasis syariah, yang memberi nilai tambah bagi kepentingan ibadah dan muamalah umat Muslim di Tanah air.

DI INDONESIA, pengembangan ekonomi berbasis syariah sudah bertahun-tahun dirintis oleh para cendekiawan muslim tanah air, namun kemajuannya saat ini masih relatif lambat termasuk soal aset yang masih minim dibanding bank konvensional. Bahkan aset perbankan syariah di Malaysia mencapai 125 milyar US dolar, jauh lebih unggul dibandingkan di Indonesia 20 milyar US dolar. Pertumbuhan aset perbankan syariah Indonesia 4%, masih sangat kecil, dibawah Turki 7%, sedangkan Malaysia mencapai 22%.

Berbekal secuil data tersebut, redaksi JUMRAH menemui Ali Masykur Musa, yang akrab dipanggil Cak Ali, mencari jawaban perihal kemajuan ekonomi syariah di Indonesia. Berikut petikan bincang-bincangnya:

Cak Ali, kemajuan ekonomi syariah di negeri kita tampak tak bergairah. Menurut Anda, apa yang menjadi kendalanya?

Di negeri kita ini memang terjadi disparitas di kalangan umat Muslim, satu sisi masih banyak yang menyukai dan betah memakai cara-cara konvensional dalam kehidupannya sehari-hari, baik ketika berhubungan dengan pihak perbankan maupun saat bertransaksi. Sementara cara-cara yang menganut prinsip-prinsip syariah, dianggap masih belum menjadi bagian penting. Fakta yang demikian tak dapat kita abaikan. Itu menjadi sebuah tantangan bagi kita, dalam rangka mendorong ekonomi syariah masuk dalam kehidupan masyarakat dan negara. Kalau boleh saya simpulkan, terdapat tiga hal yang menjadi alasan mengapa ekonomi syariah kurang bergairah.

Pertama, menyangkut sistem perbankan syariah, dan adanya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang baru sekitar 6 tahun diperkenalkan di Indonesia. Sementara di negara-negara Timur Tengah dan Malaysia, itu sudah jauh lebih dulu. Itu satu alasan mengapa sistem syariah sebagai sistem ekonomi yang harus berjalan pararel dengan ekonomi makro di negeri kita belum bisa ′berlari′ dengan kecepatan yang diharapkan.

Kedua, menyangkut endorsement, dimana dorong-an dari pemerintah, baik melalui Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator yang menggelola sistem keuangan kita pun baru memulai melaksanakan kebijakan terkait sistem syariah ini. OJK sendiri pun baru sekitar 3-4 tahun lalu, memiliki kewenangan sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi di sektor perbankan, dan industri keuangan non-bank. Jadi dari sisi regulasinya juga memang baru lahir kemarin.

Ketiga, kesadaran umat Muslim menggunakan sistem syariah untuk melakukan transaksi dalam kehidupannya itu juga belum menjadi sebuah gerakan massal. Dengan kondisi demikian itu, kita beranggapan bahwa kemampuan daya saing sistem ekonomi berbasis syariah itu, relatif masih rendah, baik perbankannya juga industri keuangan non-bank-nya, dibandingkan dengan yang konvensional. Sehingga bagi umat Muslim sendiri belum melihat nilai plus dari sistem syariah tersebut.

Upaya apa yang seharusnya kita lakukan untuk mendorongnya?

Dengan melihat ketiga aspek tadi, demi memajukan ekonomi syariah ini, yang pertama harus dilihat adalah seberapa besar potensi ekonomi dari umat Muslim di Indonesia.

Ini bisa dilihat dari dua hal, yaitu populasi umat Muslim sebesar 80% dari total jumlah penduduk di Indonesia, dan aktivitas transaksi yang mereka lakukan dalam konteks menunaikan kewajiban-nya, seperti zakat, shodaqoh, infaq, dsb. Apabila semua itu dilakukan dengan memakai prinsip syariah, maka itu dapat dilihat sebagai potensi ekonomi yang besar sekali. Saya optimis, potensi pengumpulan zakat, infaq dan sodaqah itu, nilainya mencapai angka 20 triliun rupiah setiap tahunnya.

Dari riset yang dilakukan Baznas bersama IPB dan Islamic Development Bank (IDB), potensi zakat Indonesia bisa mencapai Rp 217 triliun per tahun. Baznas sendiri mentargetkan akan perolehan zakat tahun ini mencapai Rp 4,2 triliun. Jumlah itu mengalami peningkatan Rp1 triliun dibandingkan dengan penerimaan zakat tahun sebelumnya yaitu 2014 yang mencapai Rp 3,2 triliun (naik sebesar 15-35 persen).(red) Disinilah potensi ekonomi yang bisa menggerakkan roda ekonomi ditingkat grass root yang jadi kepentingan umat Islam.

Kedua, yang harus dilakukan adalah peningkatan kualitas SDM dari pengelolanya. Tentunya bisnis perbankan dan industri keuangan non bank tak bisa dilakukan secara serampangan, ia harus memahami neraca, transparan, akuntabilitasnya harus kuat, dan memiliki Laporan Realisasi Anggaran (LRA).

photo

Apa yang menjadi keunggulannya, sehingga kita memilih produk-produk syariah dari pada dengan produk-produk konvensional?

Ini kan sebuah alternatif sistem dari yang ada sebelumnya. Kuncinya keberhasilannya adalah competitiveness yang tinggi. Tentunya value dari sistem syariah itu harus benar- benar diperkenal-kan dengan baik, seperti tidak ada riba, gharar, maisir. Sehingga umat Muslim benar-benar sadar dan mau berpindah dari sistem konvensional ke sistem syariah, bukan karena paksaan. Terpenting adalah bahwa umat Muslim merasa lebih secure menggunakan produk-produk ekonomi syariah. Dalam hal ini, tugas negara hanya membuat instrument regulasi.

Saat ini pemerintah relatif telah membuat kebijakan yang menyangkut ekonomi syariah. Undang-undang perbankan syariah sudah ada, zakat, wakaf termasuk Undang-undang SBSN juga sudah, jadi saya pikir itu cukup. Tinggal mensosialisasikannya kepada masyarakat untuk membangun kesadaran umat Muslim mengenai value dari ekonomi syariah. Sekali lagi tidak boleh ada paksaan dalam proses sosialisasi ini.

Ya, kalau pada akhirnya orang tertarik, yang harus menggunakan sistem syariah ini tidak harus umat Muslim saja. Di luar negeri non Muslim melihat ini sebagai sistem yang baik, karena memberi rasa aman dan adil.

Anda optimis dengan nilai zakat yang terkumpul di Indonesia bisa mencapai 20 triliun rupiah. Bagaimana Anda memandang pelaksanaan Haji sebagai pasar potensial bagi ekonomi syariah?

Pertanyaan menarik. Hari ini di Indonesia, orang mau naik Haji harus masuk daftar tunggu selama 12-18 tahun. Jawa Timur itu 18 tahun. Saking banyaknya jumlah jamaah Haji, sehingga kita melihat potensi Haji dalam konteks mendorong kemajuan ekonomi syariah itu sangat strategis. Hitungan Kemenag dan laporan dari perbankan terkait setoran jamaah Haji jumlah yang terkumpul bisa mencapai 60 Triliun rupiah. Itu uang yang tersimpan hingga waktu keberangkatan Haji tiba, jadi mengendap selama 12-18 tahun.

Nah, jika itu dijadikan mesin penggerak bagi kemajuan ekonomi syariah, tentu luar biasa manfaatnya bagi kepentingan umat Muslim. Untung saja, kebijakan pemerintah khususnya pelaksanaan Haji harus melalui bank-bank syariah, dan bank daerah juga yang syariah. Kebijakan ini tepat, karena yang dikelola adalah uang untuk kegiatan keagamaan (Haji), maka sudah seharusnya transaksinya melalui bank syariah.

Melihat besarnya populasi umat Muslim dalam negeri, mungkinkah dengan mekanisme syariah pada pelaksanan Haji itu melebar ke kegiatan Umrah?

Tentu saja. Sekarang ini, Umrah bukan saja diminati umat Muslim menengah atas diperkotaan. Ini juga menjadi ′need′ masyarakat di daerah pedesaan. Tingkat ekonomi masyarakat saat ini membaik. Sementara lamanya waktu menunggu untuk berHaji, membuat Umrah semakin banyak peminatnya. Ini yang saya bilang bahwa potensi Umrah dalam konteks mengkapitalisasi ekonomi umat Muslim itu sangat tinggi. Kalau kita lihat, setiap hari di bandara itu tidak ada hari tanpa Umrah. Di Terminal 2 itu selalu penuh dengan orang yang mau berangkat Umrah.

Jadi kalau semua itu sangat besar potensinya, apa saja target kedepan?

Kembali kepertanyaan awal tadi. Kalau pasar Haji senilai 60-an Triliun rupiah, (bahkan kalau tidak dibatasi, orang pun akan membayar jumlahnya akan membengkak). Semua itu uang mengendap (mubazir). Kalau dimasukkan juga nilai dari pasar Umrah. Kemudian zakat, infaq dan shodaqah yang besarnya mencapai 20 Triliun rupiah. Katakan saja total semua itu berjumlah 100 Triliun rupiah setiap tahun. Itu kekuatan ekonomi yang luar biasa besar. Nah, dengan itu semua apa yang bisa kita lakukan?

Dalam Undang Undang Haji disebutkan bahwa uang atas pengelolaan Haji itu dapat digunakan secara syar′i dalam konteks efisiensi. Jadi boleh dialokasikan untuk pengembangan bisnis.

Saat ini pengelola Haji, belum mampu mengguna-kan dana itu untuk kepentingan umat, itulah yang menurut saya salah satu alasan segera kita dibuat bank Haji. Tabungan Haji seperti di Malaysia, jadi dengan tingkat efisiensi dari pengelolaan bank Haji ini, bisa mensubsidi jamaah Haji pada 15-20 tahun berikutnya. Sehingga biayanya menjadi lebih murah tidak harus sebesar 30-32 jutaan seperti sekarang. Barangkali jamaah di masa mendatang hanya perlu membayar 20 jutaan, kekurangan bisa diambil dari pengelolaan dana Haji sebelumnya, yang besarnya luar biasa itu.

photo

Haruskah dibentuk lembaga baru untuk mengelola dana jamaah Haji itu?

Saya pikir, di dalam sistem pengelolaan keuangan negara, ada yang disebut dengan Badan Layanan Umum (BLU) dan itu diperbolehkan dalam mekanisme sistem keuangan negara. Pengelolaan dari kegiatan Haji dan Umrah dikelola oleh badan khusus yang terlepas dari Kementerian Agama. Sehingga lembaga itu bisa mengelola dana Haji dan Umrah itu secara mandiri, misalkan meng-investasikan dana itu pada bank syariah, itu ada return-nya. Keuntungannya bisa digunakan untuk mensubsidi calon jamaah Haji berikutnya.

Dengan demikian menurut saya, harus segera dibentuk BLU yang mengelola dana itu, Saya setuju BLU itu tidak dalam bentuk Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Agama.

Apakah sudah ada dorongan ke arah sana, bagaimana dengan DPR?

Pemikiran sudah ada, tinggal pemerintah mau atau tidak mengeluarkan Dirjen Haji dari Kemenag menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Tentu saja itu bisa dilakukan, karena itu uang jamaah, bukan uang APBN. Pendek kata, potensi ekonomi syariah di Indonesia itu sangat besar. Tinggal kemauan dan kemampu-an, kemauan itu berarti regulasi, sedangkan soal kemampuan itu berati sumber daya manusianya. Umat Muslim harus mempersiapkan diri sebagai pengelola keuangan dari ekonomi syariah itu.

Karena itulah kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama khususnya Ristek Dikti sudah banyak perguruan tinggi yang membuka Fakultas Ekonomi Bisnis dan Islam (FEBI), seperti di UIN dan beberapa kampus umum sudah membuka jurusan ekonomi berbasis syariah itu bagus, untuk menjawab ketersediaan tenaga-tenaga yang mengelola ekonomi syariah ke depan. Disisi lain, ya pesantren sendiri sebagai institusi pendidikan yang didalamnya memiliki potensi sangat banyak. Menyangkut orang tua murid dan para santrinya, bila itu dilakukan secara syariah akan sangat besar potensi ekonominya.

Bicara perkembangan ekonomi di Asia, terkait MEA dan AFTA, apakah bisa menghambat upaya pengembangan ekonomi syariah di Indonesia?

Menurut saya tidak usah khawatir adanya MEA dan AFTA itu bagian dari keniscayaan dari sistem ekonomi global. Justru disinilah ekonomi syariah harus kompatible dalam bersaing dengan sistem ekonomi yang lain. Kita punya kelebihan, tidak ada riba, gharar, maisir sehingga orang yang memilih sistem ekonomi syariah merasa lebih secure.

Menurut saya, ekonomi syariah juga harus terbuka dan gencar melakukan terobosan baru membangun sistem di level mana pun. Di sisi lain, pemerintah harus menjadi endorser yang baik, masyarakat dan tokoh-tokoh Muslim juga harus mensosialisasikan pentingnya ekonomi syariah sebagai pilihan yang paling adil dalam konteks ekonomi. (Wawancara Erwin E Ananto/Tim JUMRAH))

photo

Biodata

DATA PRIBADI

  1. Nama                         : Dr. Ali Masykur Musa, S.H., M.Si., M.Hum
  2. Tempat/Tanggal lahir : Tulungagung, 12 September 1962

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

  1. Madrasah Ibtidaiyah dan SD di Tulungagung, tahun 1974.
  2. PGAN 4 Tahun di Tulungagung, tahun 1978.
  3. MAN di Tulungagung, tahun 1981.
  4. Pondok Pesantren Panggung Tarbiyatul Ulum, Tulungagung, 1975-1978.
  5. Pondok Pesantren Al-Fatah, Mangunsari, Tulungagung, tahun 1978-1981.
  6. S1 FISIP Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Jember, tahun 1986.
  7. Study Internship tentang ″Studi Kawasan″, di PAU Universitas Gajah Mada, tahun 1987.
  8. Study Internship ″Metode Hubungan Internasional dan Ekonomi Politik Internasional″ di PAU Universitas Indonesia, tahun 1988.
  9. S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia, ″Pemikiran Politik Nahdlatul Ulama tentang Paham Kebangsaan Indonesia″, tahun 1998.
  10. S3 Manajemen Pendidikan dengan Konsentrasi Studi Kebijakan dan Politik Anggaran di Universitas Negeri Jakarta ″Perubahan UUD 1945 tentang Pendidikan dan Implikasinya terhadap Politik Anggaran Pendidikan″, tahun 2007.
  11. S2 Hukum Bisnis, di UGM dengan tesis ″Konflik Kewenangan Pengawasan Perbankan antara BI dan LPS dalam Penanganan Bank Gagal″ tahun 2009.
  12. S1 Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, tahun 2010.
  13. Study Banding sejumlah Negara tentang Kenegaraan, Hukum dan Kewarganegaraan seperti; Korea Selatan, RRC, Jepang, Amerika Serikat, Arab Saudi, Mesir, Jerman, Chile, Swiss, Spanyol, Brasil, Argentina, Maroko, Yunani, Rusia, dan lain-lain.

RIWAYAT PEKERJAAN

  1. Dosen FISIP Universitas Negeri Jember, tahun 1987-1999.
  2. Presenter TV, tahun 1997-1999.
  3. Aktif Seminar dan Menulis.
  4. Penceramah / Sosialisator UUD 1945 dan Perundang- undangan Politik di LEMHANAS, LIN, LAN, DEPDAGRI, LESPIDA dan sebagainya.
  5. Anggota FKB DPR-RI, tahun 1999-2001.
  6. Ketua Fraksi PKB DPR RI 2002 – 2003 dan 2004 - 2006.
  7. Sekretaris PAH I BP MPR-RI tentang Perubahan UUD 1945, tahun 2000-2003.
  8. Anggota Working Committee Parlemen OKI, tahun 2002-2005.
  9. Anggota BKSAP DPR-RI, tahun 1999-2003.
  10. Anggota Komisi IX DPR-RI, tahun 1999-2002.
  11. Anggota Komisi VI DPR-RI, tahun 2002-2003.
  12. Wakil Ketua Komisi IX (Bidang Perencanaan Pembangunan dan BUMN) DPR-RI, tahun 2003-2004.
  13. Wakil Ketua Komisi XI (Bidang Perbankan dan LKBB) DPR-RI, tahun 2004-2006.
  14. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, tahun 2005-2009.
  15. Anggota Komisi XI DPR-RI, tahun 2006-2009.
  16. Anggota IV BPK RI Periode Tahun 2009 s.d 2014 Bidang Pemeriksaan : Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), BPH Migas, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BPLS, BPJT.
  17. Ketua Komite Pelaksana INTOSAI WGEA di BPK RI Periode Tahun 2013 s.d. 2016.
  18. Komisaris Utama PT. IndonesiaRe (PT. Reasuransi Indonesia Utama, Persero), tahun 2014 - sekarang.

RIWAYAT ORGANISASI

  1. Ketua Umum PMII Rayon FISIP, Universitas Jember, 1983 - 1984.
  2. Ketua Umum PMII Cabang Jember, 1985 - 1986.
  3. Wakil Ketua GP. Ansor Cabang Jember, 1986 - 1988.
  4. Ketua LPSDM PB PMII, 1988 - 1991.
  5. Ketua Umum PB PMII, 1991 - 1994.
  6. Ketua GM KOSGORO, 1995 - 1998.
  7. Ketua DPP KNPI, 1997 - 1999.
  8. Plh Ketua Umum DPP KNPI, 1999 - 2000.
  9. Departemen Lembaga Perekonomian PB NU, 2000 - 2005.
  10. Ketua Departemen Pemuda dan Mahasiswa DPP PKB, 1998 - 2002.
  11. Ketua DPP PKB, 2002 - 2005.
  12. Wakil Ketua Umum DPP PKB, 2005 - 2010.
  13. Ketua Keluarga Alumni Universitas Jember DKI Jakarta, 2005 - 2009.
  14. Ketua Umum PP Keluarga Alumni Universitas Jember (KAUJE), 2009 - sekarang.
  15. Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), 2012 – 2017.

LAIN-LAIN

Buku yang diterbitkan:

  1. ″Menjadi Kaum Muda″, diterbitkan oleh FREHs, tahun 1996.
  2. ″Sistem Pemilu: Proporsional Terbuka Setengah Hati″, diterbitkan oleh Partnership dan Forum Indonesia Satu (FIS), tahun 2004.
  3. ″Pertanggungjawaban Publik Ali Masykur Musa″, diterbitkan oleh AWAMI, tahun 2005.
  4. ″Politik Anggaran Pendidikan Pasca Perubahan UUD 1945″, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, tahun 2009.
  5. ″Lompatan Demokrasi Pasca Perubahan UUD 1945″, diterbitkan oleh Konpress Mahkamah Konstitusi, tahun 2009.
  6. ″Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur″, diterbitkan oleh PT. Erlangga Jakarta, tahun 2010.
  7. ″NU dan Moralitas Politik Bangsa″, diterbitkan oleh Telaga Bijak Jakarta, tahun 2010.
  8. ″Pesan - Pesan Moral Islam Tentang Lingkungan Hidup dan Kesalehan Sosial″, diterbitkan oleh Telaga Bijak Jakarta, tahun 2011.
  9. ″Nasionalisme di Persimpangan″, diterbitkan oleh PT. Erlangga Jakarta, tahun 2011.
  10. ″Membumikan Islam Nusantara, diterbitkan oleh Serambi, tahun 2014.
  11. ″Konsisten Di Tengah″, diterbitkan oleh Renebook, tahun 2014.
  12. ″Mengukir Demokrasi – Pandangan Kebangsaan AMM dalam Konvensi″ diterbitkan oleh Harfamedia, Tahun 2014.
  13. ″Teropong Keuangan Negara – Peta Jalan dan Cetak Biru BPK RI″, diterbitkan oleh Renebook, tahun 2014.
  14. ″Uang Negara = Uang Rakyat″, diterbitkan oleh Renebook, tahun 2014.
  15. ″Potensi Penerimaan Negara″, diterbitkan oleh Renebook, tahun 2014.
  16. ″Audit Kehutanan″, diterbitkan oleh Renebook, tahun 2014.
  17. ″Audit Minerba″, diterbitkan oleh Renebook, tahun 2014.

Artikel Terakhir

Arsip

Penyelenggara Umrah