Badal Haji

Dan Yang Perlu Diperhatikan
Seseorang yang berniat ibadah haji atau umrah bukan untuk dirinya, namun untuk menggantikan ibadah orang lain, itu yang dimaksudkan dengan Badal atau ‘menggantikan’. Sebab badal dilakukan adanya oleh faktor halangan, usia lanjut atau telah meninggal dunia.
Istilah lain dari badal adalah al-hajju anil-ghairi, yaitu ketika seseorang mengerjakan ibadah haji dengan niat bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain.
Syaratnya bila orang (yang digantikan) tersebut meninggal dunia dan belum melakukan ibadah haji, atau karena sakit berat sehingga tidak memungkinkannya melakukan ibadah haji namun memiliki biaya yang cukup untuk menunaikan haji.
Badal haji sering menjadi bahan perdebatan, masuk dalam kategori khilafiyah antara yang membolehkan dan yang tidak. Masing masing beragumen pada dalil masing-masing. Para ulama yang tidak membolehkan berangkat dari dasar pikiran dan nash bahwa seseorang tidak bisa menggantikan amal orang lain, tanggungjawab itu bersifat pribadi.
Kalau orang yang tidak bisa haji karena berbagai faktor maka itu artinya ia memang tidak istithoah maka ia terbebas dari kewajibannya. Bagi kelompok yang berpendapat seperti ini jika ada hadits pun yang sanad-nya shahih tentang adanya badal haji, namun dari sisi matan maka hadits tersebut masih perlu dipertanyakan.
Menurut hadits dari Ibnu ‘Abbas RA mengatakan, “Bahwasannya ada seorang wanita dari daerah Khats’am mengadu kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah sesungguhnya bapakku sudah wajib melaksanakan haji, akan tetapi kondisinya sudah tua renta, ia sudah tidak bisa duduk tegak diatas punggung untanya?”
Maka Rasulullah Saw menjawab: “Hajikanlah ia!” (HR. Jama’ah: Ahmad dan para perawi kitab yang enam).
Dari Ibnu ‘Abbas RA, “Bahwasannya ada seorang wanita dari daerah Juhainah datang kepada Rasulullah. Kemudian ia berkata, “sesungguhnya ibuku telah ber-nadzar untuk haji, akan tetapi belum sempat melaksanakannya ia meninggal dunia apakah saya harus menghajikannya?” Rasulullah menjawab, “Ya, hajikanlah ia, karena bagaimana menurutmu seandainya ibumu mempunyai hutang bukankah engkau harus melunasinya? Tunaikanlah hak Allah, sesungguhnya hak Allah itu lebih berhak untuk dipenuhi.” (HR. Bukhari dan Nasa’i; Hajj Wal Umrah Wa Qadhaya Al- Mar’ah: 219)
Menurut Fiqh 4 Madzhab
Menurut Madzhab Syafi’i dan Hanbali,
“Orang yang berkewajiban haji tetapi ia tidak memungkinkan menjalankannya hingga ia mati, sebelum ia dapat mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban tersebut dari dirinya.
Demikian kesepakatan para imam madzhab. Jika ia meninggal dunia sesudah memungkinkan untuk melaksanakan ibadah haji, maka gugurlah kewajiban itu dari dirinya. Oleh karena itu ia wajib dihajikan oleh orang lain dengan biaya dari hartanya, baik ia mewasiatkan atau tidak, sebagaimana hutang.”
Menurut Hanafi dan Maliki, kewajiban jadi gugur l antaran mati, dan keluarganya tidak diwajibkan mengerjakannya, kecuali kalau diwasiatkan. Jika diwasiatkan, maka harus melaksanakan ibadah haji dengan menyuruh orang lain atau keluarganya dengan biaya dari 1/3 hartanya.
Madzhab Hanafi, “Orang yang sakit atau kondisi badannya tidak memungkinkan melaksanakan ibadah haji namun mempunyai biaya untuk haji, maka ia wajib membayar orang lain untuk menghajikannya, apalagi bila sakitnya kemungkinan susah disembuhkan, ia wajib meninggalkan wasiat agar dihajikan.”
Madzhab Maliki “Tidak boleh menghajikan orang yang masih hidup.”
Madzhab Syafi’i “Boleh menghajikan orang lain dalam dua kondisi. Pertama, untuk mereka yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena tua atau sakit sehingga tidak sanggup untuk bisa duduk di atas kendaraan. Orang seperti ini kalau mempunyai harta wajib membiayai haji orang lain, cukup dengan biaya haji meskipun tidak termasuk biaya orang yang ditinggalkan. Kedua, orang yang telah meninggal dan belum melaksanakan ibadah haji, Ahli warisnya wajib menghajikannya kalau masih ada harta yang ditinggalkannya.”
Menurut pandangan para Ulama Syafi’i dan Hanbali bahwa kemampuan melaksanakan ibadah haji ada dua macam, yaitu:
- Kemampuan langsung, seperti yang sehat dan mempunyai harta.
- Kemampuan yang tidak langsung, yaitu mereka fisiknya tidak mampu (udzur), namun memiliki cukup harta untuk ibadah haji. Keduanya wajib melaksanakan ibadah haji.
Orang yang dihajikan adalah orang yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji, baik karena sakit, gila atau telah meninggal dunia. Bila ia sembuh dari sakit sebelum waktu haji, maka tidak boleh digantikan.
Menurut Imam Muwafiq (madzhab Hanbali) dan Ibnu Mundzir, bahwa Ijma’ para ‘Ulama’ mengatakan, “Seseorang yang mampu melaksanakan sendiri ibadah haji fardlu, maka ia tidak boleh minta digantikan orang lain dalam melaksanakannya.”
Jika seseorang belum melaksanakan ibadah haji fardlu, maka ia tidak boleh mewakilkan kepada orang lain untuk ibadah haji yang tathawwu’, sebab ibadah haji tathawwu’ tidak sah bila belum melaksanakan ibadah haji fardlu.
Bila seseorang telah wajib baginya menunaikan ibadah haji, kemudian meninggal, sedangkan harta peninggalannya tidak cukup untuk melunasi hutang juga membayar biaya badal haji, maka, menurut Madzhab Syafi’i;
- Membayar ongkos badal haji harus didahulukan, sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas RA yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nasa’i.
- Melunasi hutang terlebih dulu.
- Kedua-nya dilunasi.
Madzhab Hanbali berpendapat seperti kedua pendapat yang terakhir dari Madzhab Syafi’i tersebut.
Menurut madzhab Maliki dan Hanafi: “Hendaklah dianggarkan sepertiga dari harta peninggalannya. Itupun bila ada wasiat dari si mayit supaya dihajikan atas namanya.”
Jika seseorang sudah melaksanakan ibadah haji fardlu, kemudian ingin ibadah haji tathawwu’-nya diwakilkan kepada orang lain, maka menurut madzhab Hanafi dan sebagian ‘Ulama’ Hanbali: hukumnya boleh.
Namun, menurut madzhab Syafi’i dan sebagaian ‘Ulama’ Hanbali: hukumnya tidak boleh. Sedangkan menurut madzhab Maliki: “Baik dalam keadaan mampu atau udzur/ lemah, hukumnya tidak boleh.”
Syarat-syarat Haji Badal
Meng-haji-kan atau meng-umrah-kan orang lain dapat dilaksanakan bila:
1) Orang yang menghajikan atau mengumrahkan orang lain harus sudah melaksanakan ibadah haji atau umrah, dan tidak boleh menggabungkan dengan haji orang lain.
Dan ia sudah ‘Aqil Baligh serta sehat jasmani. Sebagaimana hadits: dari Ibnu ‘Abbas RA, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah mendengar seorang lelaki berkata “Labbaik ‘an Syubramah” (Labbaik/aku memenuhi panggilanmu ya Allah, untuk Syubramah), lalu Rasulullah bertanya “Siapa Syubramah?”. “Dia saudaraku, ya Rasulullah”, jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah berhaji?” Rasulullah bertanya. “Belum” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubramah”, lanjut Rasulullah. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Daruquthni dengan tambahan “Haji untukmu dan setelah itu berhajilah untuk Syubramah”.)
2) Niat menghajikan orang lain dilakukan pada saat ihram.
Niat Badal Haji:
Labbaika allahumma al-hajja. ‘An (Fulan bin Fulan)
atau (Fulanah binti Fulan)
Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk ber-haji dari
(Fulan bin Fulan) atau (Fulanah binti Fulan).
Niat Badal Umrah:
Labbaika Allahumma ‘umratan ‘an (Fulan bin Fulan)
atau (Fulanah binti Fulan).
Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk ber-umrah dari
(Fulan bin Fulan) atau (Fulanah binti Fulan).
3) Orang yang digantikan hajinya adalah karena telah cukup biaya untuk ibadah haji, lemah fisik dan jasmaninya (sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya) atau orang tersebut sudah meninggal.
Imam An-Nawawi RA berkata, “Mayoritas (ulama) mengatakan bahwa menghajikan orang lain itu dibolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit) yang tidak ada harapan sembuh.”
Sebagaimana hadits:
“Dari Abdullah bin Buraidah RA, dia berkata, ketika kami
duduk di sisi Rasulullah SaW, tiba-tiba ada seorang wanita
datang dan bertanya, ‘Sesungguhnya saya bershadaqah
budak untuk ibuku yang telah meninggal.’ Beliau bersabda,
‘Anda mendapatkan pahalanya dan dikembalikan kepada
anda warisannya.’ Dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungan) puasa
sebulan, apakah saya puasakan untuknya?’ Beliau
menjawab, ‘Puasakan untuknya.’ Dia bertanya lagi, ‘
Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali,
apakah (boleh) saya hajikan untuknya? Beliau menjawab,
‘Hajikan untuknya.’ (HR. Muslim, 1149)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Orang yang membolehkan menghajikan orang lain (haji fardlu) tidak diterima kecuali untuk orang meninggal dunia atau lumpuh. Maka orang sakit tidak termasuk yang dibolehkan, karena ada harapan sembuh. Tidak juga orang gila, karena ada harapan normal. Tidak juga orang yang dipenjara, karena ada harapan bebas. Tidak juga orang fakir karena mungkin dia menjadi kaya.” (Fath al Bari, 4/70)
Ibnu Qudamah berkata, “Tidak dibolehkan melakukan haji wajib untuk menggantikan orang yang mampu melaksanakan haji sendiri berdasarkan Ijma’.” Ibnu Mundzir berkata, “Para ‘Ulama’ sepakat (Ijma’) bahwa orang yang wajib melaksanakan haji fardlu, ketika dia mampu untuk melaksanakan haji, maka, tidak sah kalau dihajikan oleh orang lain.” (Al-Mughni, 3/185).
4) Harta yang digunakan untuk membiayai orang yang menghajikannya adalah milik orang yang dihajikan tersebut, atau sebagian besar miliknya.
5) Harus ada ijin atau perintah dari orang yang dihajikan.
Ulama’ Syafi’i dan Hanbali mengatakan boleh menghajikan orang lain secara sukarela, misalnya seorang anak ingin menghajikan orang tuanya yang telah meninggal meskipun dulu orang tuanya tidak pernah mewasiatkan atau belum mempunyai harta untuk haji. Hadits dari Ibnu Zubair RA, sesungguhnya Rasulullah mengatakan kepada seorang laki-laki, “Engkau adalah anak tertua ayahmu, maka lakukanlah haji untuknya.” (HR Nasa’i no. 2596)
Seorang anak di-sunnah-kan menghajikan orang tuanya yang telah meninggal atau tidak mampu lagi secara fisik. Berdasarkan hadits, dari Abu Razin al Uqaili RA, dia berkata, Aku berkata: “Wahai Rasulullah SaW, ayahku telah tua dan tidak tidak mampu untuk ber-haji dan umrah, beliau menjawab: “Berhajilah untuk ayahmu dan berumrahlah”. (HR At Tirmidzi, Abu DAwud dan Nasa’i)
Dalam riwayat Jabir RA dikatakan “Barang siapa menghajikan ayahnya atau ibunya, maka ia telah menggugurkan kewajiban haji keduanya dan ia mendapatkan keutamaan sepuluh haji”. (HR Ad Daruquthni).
Riwayat Ibnu ‘Abbas RA, “Barangsiapa melaksanakan haji untuk kedua orang tuanya atau membayar hutangnya, maka ia akan dibangkitkan di hari kiamat nanti bersama orangorang yang dibebaskan.” (HR Ad Daruquthni)
Boleh bagi seorang laki-laki boleh menggantikan haji atau umrah-nya seorang wanita atau sebaliknya Dalam Hadits disebutkan dari Ibnu ‘Abbas RA: “Bahwasannya ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah perihal ayahnya yang telah meninggal tidak bisa berangkat haji, maka beliau bersabda: “Berhajilah untuk ayahmu.” (HR Nasa’i no. 2587)
Hadits dari Sulaiman ibn Yasar, dari Fudhail Ibnu ‘Abbas RA, “ketika kami mendampingi Rasulullah, datanglah seorang laki-laki kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, Ibuku telah tua dan lemah, apabila saya menggendongnya (diatas kendaraan), ia tidak akan mampu bertahan lama, jika aku mengikatnya, aku khawatir akan membunuhnya.” Beliau bertanya: “Bagaimana pendapatmu apabila ayahmu atau ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan membayarnya?” Ia berkata; “Ya.” Beliau bersabda: “Berhajilah untuk ibumu.” (HR Nasa’i no. 2595)
Namun menurut Ibnu Mundzir, bahwa: “Pendapat yang mengatakan seorang laki-laki boleh menghajikan perempuan dan sebaliknya, adalah pendapat yang ceroboh.”
6) Hukum menyewa orang untuk melaksanakan ibadah haji (badal haji)
Adalah orang yang disewa dengan syarat sewa-menyewa seperti adanya biaya sewa menyewa, akad dan risiko dari muamalah tersebut. Maka ia boleh menggunakan semua yang diperoleh dari sewa-menyewa tersebut.
Jika ada kelebihan biaya dari pelaksanaan ibadah haji, maka itu menjadi hak-nya, jika biaya sewa-menyewa tersebut hilang, dicuri dan lain-lain atau ia harus membayar dam karena pelanggaran ihram, maka itu menjadi beban yang harus ia tanggung sendiri (dimana ibadah haji tetap harus dilaksanakan sesuai akad).
Mayoritas Ulama Hanafi berpendapat, tidak boleh menyewa orang lain untuk melaksanakan ibadah hajinya, seperti juga tidak boleh mengambil upah dalam mengajarkan Al Qur’an. Dalam hadits riwayat Ubay bin Ka’ab RA pernah mengajari Al Qur’an lalu ia diberi hadiah busur, Rasulullah bersabda: “Kalau kamu mau busur dari api menggantung di lehermu, ya ambil saja”.(H.R. Ibnu Majah). Rasulullah juga berpesan kepada Utsman bin Abil-Ash RA, “Angkatlah muadzdzin yang ia tidak mengambil upah atas pekerjaan adzan-nya itu.” (H.R. Abu Dawud).
Mayoritas Ulama Syafi’i dan Hanbali serta sebagian Ulama Hanafi berpendapat, boleh menyewa orang melaksanakan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya yang boleh diwakil- kan, dengan landasan hadits yang mengatakan “Sesungguhkan yang layak kamu ambil upah adalah Kitab Allah.” (Dari Ibnu ‘Abbas, H.R. Bukhari).
Madzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat, “Boleh menyewa orang untuk melaksanakan ibadah haji, berlaku baik untuk orang yang telah meninggal maupun orang yang belum meninggal.”
Ulama Maliki berpendapat, makruh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, karena menurut mereka, hanya upah mengajarkan Al Qur’an yang diperbolehkan dalam masalah ini. Menyewa orang melaksanakan ibadah haji juga hanya boleh untuk orang yang telah meninggal dunia dan itu pun harus ada wasiat. Kalau tidak mewasiatkan maka tidak sah.
7) Hukum menggantikan orang lain untuk melaksanakan ibadah haji (badal haji)
Adalah orang yang menggantikan perjalanan ibadah haji seseorang, dimana biaya perjalanan ibadah haji tersebut ditanggung oleh yang menyuruh menggantikan ibadah haji tersebut. Bila ada kelebihan dari anggaran yang diberikan, maka harus dikembalikan (kecuali diberikan kembali oleh yang menyuruh).
Dan bila ia meninggal, sakit, tertahan (ihshar) atau tersesat jalan, maka ia tidak dibebani untuk mengembalikan biaya tersebut.
Bila ia mengerjakan haji secara tamattu’ atau Qiran dan hal tersebut di-ijin-kan oleh yang menyuruh, maka biaya damnya ditanggung oleh yang menyuruh, namun bila ia tidak diijinkan untuk tamattu’ atau Qiran, maka ia tanggung sendiri dam-nya.
Adapun dam karena tertahan (ihshar) dibayar oleh yang menyuruh, karena hal tersebut untuk menghilangkan rintangan pelaksanaan ibadah haji. (TIM JUMRAH)