Uang Rokok Membawanya Terbang ke Baitullah

Edisi 5 November 2015 Kisah Inspirasi Islam
img

Doa Tukang Panggul pun Terkabul

"Allah Yang Maha Kaya akan memampukan setiap hamba yang menjadikan berumrah dan berhaji bagian dari cita-cita serta mau memperjuangkannya"

Adalah Naan, yang tak lagi bersekolah diusianya 12 tahun. Sekolah Dasar Kampung Pondok Serut, Tangerang, Banten, itu ditinggalkannya sejak tahun 1965. Saat itu, sebagian besar warga di sana mengalami kesulitan ekonomi. Suasana politik yang panas oleh maraknya gerakan Partai Komunis Indonesia, membuat masyarakat di sana dicekam rasa takut. Naan yang beranjak remaja, memutuskan untuk hijrah ke Jakarta mencari peruntungan.

Mengadu nasib di Ibukota dengan bekal pengetahuan yang seadanya tentu membutuhkan keberanian yang luar biasa. Di kawasan Kebayoran (sekarang Kebayoran Lama) Naan pun menjalani kesehariannya tanpa tempat tinggal, Sejak subuh, hingga petang ia mengais rejeki sebagai kuli panggul dengan upah senilai keringat. Memikul barang dagangan milik para pedagang dari stasiun kereta menuju pasar Kebayoran lama.

Kuli Panggul Tanpa Tempat Tinggal

Hidup tanpa tempat tinggal itu Ia lalui dengan penuh kesabaran. Naan merasa bersyukur dari upah 5 - 10 rupiah kala itu masih bisa disisihkan untuk ditabung. Ia mengumpulkan uangnya untuk membeli beberapa peralatan tali tambang, keranjang dan pikulan yang membantu memudahkannya bekerja.

Saat itu Naan menginjak 15 tahun, hari-hari yang ia jalani bersama para pedagang pasar, membuatnya tertarik untuk ikut terlibat menjadi perdagangan. Sejak itu Ia pun mencaricari barang apa yang sekiranya bisa Ia upayakan untuk dijual di pasar. Saat uangnya terkumpul Ia memutuskan untuk berdagang buah-buahan. Naan pun memulai menggelar dagangan buah pepaya, semangka, salak, jeruk di pinggiran jalan di pasar Kebayoran.

Tentu, jenis buah-buahan seperti bukan sesuatu yang langka di pasar Kebayoran itu. Para pedagang buah lain pun telah banyak yang menggelar lapak di sana, dan bersaing untuk mendapatkan pelanggan. Ini menjadi tantangan yang tidak mudah bagi Naan yang baru mengawali usahanya. Naan pun berupaya bertahan untuk memutar modalnya di dagang buah. Meski begitu, ia masih memanfaatkan waktu menawarkan jasa memanggul barang-barang dagangan langganannya dari stasiun kereta hingga pasar.

Mencari Peluang Rejeki di Jembatan Jeling

Kala itu, dengan modal uang 90 rupiah, Naan bersama rekan pedagang berangkat menuju Jembatan Jeling. Setiba disana mereka berkeliling mencari lokasi yang menguntungkan untuk menggelar dagangannya. Dan, Ia mulai menata dagangannya didalam keranjang yang ia miliki, berdagang ke daerah Jembatan Jeling, Jakarta Barat.

Tak ubahnya di tempat sebelumnya di pasar Kebayoran, Naan setiap malam beristirahat dan tidur pasar, karena memang belum memiliki rumah untuk ditinggali.

Belajar dari lingkungan dan rekannya, ia pun mulai bisa mengelola usaha dagang buahnya. Sedikit demi sedikit usahanya berk, embang, jenis buah yang dijualnya pun bertambah. Bahkan ia tak berhenti menjadi kuli panggul mengangkut barang para pembeli di pasar di jembatan Jeling itu.

Memasuki tahun 1980-an ia masih menjalani kesehariannya dan bertahan menjadi pedagang buah. Dari usahanya itu ia bisa membuka kios sederhana di lokasi yang lebih menguntungkan di pasar itu. Sampai kemudian ia mengenal seorang gadis yang tak lama kemudian dinikahinya.

Pasang surut berdagang di pasar Jembatan Jeling tentu dialaminya pula, namun itu tidak membuatnya menyerah. Karena saat kiosnya sepi pembeli, ia masih bisa menawarkan tenaganya untuk mengangkut barang. Bahkan dengan ada seorang istri yang sekarang membantunya, ia lebih leluasa mencari tambahan rejeki diluar kiosnya.

Jalan Untuk Kembali

Memasuki tahun 1985, tantangan lain mulai menghampiri mereka. Rumor tentang rencana pembangunan jalan tol di kawasan pasar tersebut membuat para pedagang di sana resah. Petugas dari pemerintah pun sudah berkali- kali memberi peringatan untuk segera membersihkan area tersebut, dan melarang para pedagang beroperasi di sana.

Sejak larangan itu diberlakukan di kawasan itu, aktivitas perdagangan disana sedikit demi sedikit mulai sepi. Para palanggan pun sudah tak merasa nyaman, lantaran petugas sudah memblokir jalanan. Berbagai alatalat besar untuk pembangunan jalan pun mulai memasuki dan beroperasi kawasan itu.

Sekitar tahun 1985, bersama istrinya, Naan pulang ke Pondok Serut, Tangerang. Ia kembali menetap di rumah orang tuanya. Pondok Serut tentu tempat yang sangat dikenalnya. Baginya kehidupan disini tidak sesulit dulu, atau pun ketika ia masih berada di pasar. Dengan modal yang cukup, ia melanjutkaan usaha dagang buahnya di lokasi dekat rumah. Ia membuka lapak buah, di lokasi yang sangat menguntungkan, karena belum banyak pedagang buah disana.

Tampaknya lokasi lapak buah yang dipilihnya mudah dikenali oleh masyarakat disana. Tempat itu menjadi tujuan pelanggan dan masyarakat setempat untuk membeli buah segar. Al hasil, usahanya mengalami kemajuan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bahkan ia mampu membuka satu lagi lapak buah di lokasi lainnya.

Suasana Yang Menentramkan Hati

img

Suasana di Pondok Serut, Tangerang tempat tinggalnya itu cukup kondusif untuk masyarakat setempat dan para pendatang hidup rukun dengan nyaman. Secara rutin pada hari-hari tertentu mereka berkumpul melakukan kegiatan pengajian baik di Masjid maupun di rumah-rumah warga. Kelompok-kelompok pengajian pun aktif mengajak warga setempat terlibat dalam kegiatan ibadah. Naan yang sudah lama keluar dari lingkungan itu, kini mulai merasakan suasana hati yang lebih tenang dan tenteram. Ia mulai terlibat dalam kegiatan pengajian bersama warga setempat yang dibimbing oleh seorang Ustadz Jaro Risan.

Naan sendiri mengakui Ustadz-nya sangat bersemangat mengajar agama Islam, bahkan Ustadz nya pun mau menghampiri dan mengajak warga dari rumah ke rumah untuk ikut dalam pengajiannya. Hal itu yang membuat Naan, merasa malu untuk tidak hadir dalam acara tersebut.

Ia mengatakan, "Sempat atau tidak saya harus datang ke tempat pengajian lebih dulu sebelum Ustadz mengetuk pintu rumah saya. Saya malu kalau urusan mengaji, harus datang karena dijemput."

Sejak mengikuti pengajian bersama Ustadz Jaro, Naan merasa perlu lebih dalam lagi memahami ajaran Rasulullah ini. Kerinduannya untuk beribadah ia tumpahkan setiap hari, dengan menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa.

Panggilan Ke Tanah Suci

Suatu hari dalam acara pengajian ia dikenalkan oleh ustadznya dengan seorang bernama Gus Arifin, warga yang tinggal di perumahan baru, di dekat sekitar Pondok Serut. Ustadz Jaro, mengatakan bahwa Gus Arifin bersedia membantu memberi bimbingan agama kepada warga setempat.

Naan mengatakan, "Sosok Gus Arifin, ini menginspirasi saya, suatu saat dia menyarankan kami untuk pergi berhaji, dengan cara yang paling mudah."

"Saya sempat bertanya dalam hati, seperti apa cara yang paling mudah itu? Bukankah ongkos untuk pergi Haji bisa puluhan juta?" kata Naan.

Menurut Gus Arifin caranya dengan menyisihkan sedikit kesenangan kita. Kalau kita punya niat pergi ke Tanah Suci,kita menabung, salah satunya adalah dengan mengurangi merokok dan menyisihkan uang rokok itu untuk ditabung. Jadi hanya menabung senilai satu batang rokok sehari, itu bisa membuat kita pergi berhaji. Insya Allah, Allah akan memampukan kita, kalau kita mau memperjuangkan niatan pergi haji atau umrah ini.

Selamat Tinggal Rokok, Selamat Tinggal Kopi

Saya bilang, "Masuk akal juga, Saya pikir nasihat itu bisa saya lakukan, toh nggak ada ruginya dicoba. Maka dari itu, spontan saya berhenti merokok,"

img

Suatu hari, sebelum istirahat siang Naan masih membeli sebungkus rokok, ia menhisapnya sebatang, setelah makan siang, lalu ia istirahat, tertidur.

Setelah bangun dari tidur, saat santai seperti biasanya ia mengambil rokoknya, tetapi saat menyalakan rokok, ia merasakan keanehan dalam dirinya. Ia mengatakan, "Saya merasa rokok yang dihisapnya sangat tidak enak, saya sendiri bingung, kenapa saya nggak merasa menikmati rokok itu."

Tanpa pikir panjang lagi, Naan pun memberikan saja rokok itu kepada teman-temannya.

Waktu berselang, kemudian Ia menyampaikan hal itu kepada istrinya, "Mak, saya sudah ngerasa nggak kepingin merokok, nggak kepingin ngopi."

"Memangnya kenapa Pak?", tanya istrinya,

"Ya kagak tahu Mak, pokoknya nggak kepingin aja." balasnya

"Ya syukurlah Pak, kalau memang niat Bapak begitu", kata istrinya.

Nah, mulai tahun 2008, saat itu Naan pun praktis berhenti merokok, juga berhenti 'ngopi'. Dia pun menghitung-hitung, dulu dalam sehari Ia menghabiskan dua bungkus rokok seharga Rp 16.000, minum kopi tiga kali sehari senilai Rp 4000,-. Ia pun memutuskan untuk menyimpan uang rokok dan kopinya sebesar Rp. 20.000 setiap hari.

Kepada istrinya, Ia pun mengatakan, "Kalau uang rokok sama uang ngopi kita simpan, kita tabung, kayaknya kita bisa pergi ke tanah suci."

"Ya sudah kalau memang ada rencana mau pergi berhaji, saya setuju saja. Kalau ada umur kita bisa berangkat berdua, ya Pak", jawab istrinya.

Mendengar ucapan istrinya yang ingin berangkat berhaji berdua, Naan pun semakin bersemangat. Sejak saat itu ia menyisihkan uang hasil dagangnya dan menyimpannya di dalam sebuah jerigen minyak di bawah tempat tidur.

Sejak saat itu, rutin setiap hari Naan memasukkan sebanyak 20 ribu rupiah. "Pokoknya mau untung atau tidak, saya harus menyimpan, hasil dagang dan hasil 'nguli' masuk ke situ setiap hari dalam jumlah yang sama." ujarnya.

Naan tidak pernah mengingat-ingat uang yang telah ditabungnya, Bahkan sudah ketiga kalinya Gus Arifin memberangkatkan jemaah dari warga setempat, Naan belum yakin apakah ia mampu berangkat ke Tanah Suci.

Enam tahun telah berlalu, Suatu hari di pengajian Ustdaz Gus Arifin mengatakan akan segera memberangkatkan lagi beberapa tetangga pergi Umrah ke Tanah Suci.

Mewujudkan Mimpi Ke Tanah Suci

Saat itu Naan, yang merasa belum punya cukup uang untuk turut serta, hanya bisa bertanya dalam hati, "Kapan ya, saya bisa pergi ke Tanah Suci? Padahal Gus Arifin sudah ketiga kalinya memberangkatkan jamaah."

img

Sampai di rumah, Ia pun menyampaikan bahwa beberapa tetangga sedang bersiap-siap untuk pergi ke Tanah Suci.

Lalu istrinya bertanya kepadanya, "Bapak sendiri, kapan mau berangkat?"

Naan pun menjawab, "Bagaimana mau berangkat, uangnya saja belum ada."

Mendengar jawaban Naan, istrinya berkata. "Itu uang yang di dalam jerigen bukannya untuk pergi ke sana Pak?"

Karena belum merasa yakin Naan pun menjawab, "Memangnya jumlahnya cukup untuk bayar ongkos berangkat ke sana. Ya coba kita hitung saja."

Malam itu juga, mereka berdua mulai membongkar isi tabungan itu. Dikeluarkannya seluruh uang yang ada di dalam jerigen. Hitung punya hitung, hasil tabungan itu berjumlah 42 juta rupiah.

Dengan nada yang takjub, Naan mengucap "Alhamdulillah... Alhamdulillah..." berkali-kali. Ia benar-benar tak menyangka uang tabungan telah terkumpul banyak sekali. Cukup untuk membayar ongkos Umrah, walaupun hanya untuk satu orang, bahkan masih menyisakan jumlah yang cukup banyak.

Keesokan harinya pun segera Naan mendaftarkan diri dan secara tunai ia menyetorkan sebesar 22 juta rupiah yang dibutuhkan untuk pelaksanaan umrahnya.

Dengan penuh rasa syukur, pada bulan April 2014 lalu, akhirnya Naan pun terbang bersama jamaah lain, menuju ke Mekkah menjadi tamu Allah. Doa-doa pun ia lantunkan sepanjang penerbangan dari tanah air menuju ke Tanah Suci, berserah diri mengikuti kehendak Ilahi.

"Alhamdulillah, Saya merasa bersyukur, dengan berhenti merokok, mimpi saya untuk pergi ke Tanah suci, bisa terwujud. Entahlah, saya tidak merasa berat untuk melakukan ini, Saya merasa Allah telah membuat saya mampu melalui semua itu", tutur Naan. (Erwin E Ananto - Tim Jumrah)

Artikel Terakhir

Arsip

Penyelenggara Umrah